Arsip

Archive for 10 Februari 2010

Tanggung jawab

T a n g g u n g    J a w a b

K. Bertens ETIKA, Jakarta 2001 PT Gramedia

Sama seperti dalam banyak bahasa Barat, dalam bahasa Indonesia pun kata yang kita pakai untuk “tanggung ja­wab” ada kaitannya dengan “jawab”. Bertanggung jawab berarti: dapat menjawab, bila ditanyai tentang perbuatan-­perbuatan yang dilakukan. Orang yang bertanggung jawab dapat diminta penjelasan tentang tingkah lakunya dan bu­kan saja ia bisa menjawab – kalau ia mau – melainkan juga ia harus menjawab. Tanggung jawab berarti bahwa orang tidak boleh mengelak, bila diminta penjelasan tentang per­buatannya. Jawaban itu harus diberikan kepada siapa? Ke­pada dirinya sendiri, kepada masyarakat luas dan – kalau dia orang beragama – kepada Tuhan.

1.  Tanggung Jawab dan Kebebasan

Dalam “tanggung jawab” terkandung pengertian “penye­bab”. Orang bertanggung jawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Orang yang tidak menjadi penyebab dan suatu akibat tidak bertanggung jawab juga. Bila teman saya meng­akibatkan kecelakaan lalu lintas, saya tidak bertanggung jawab, sekalipun ia menggunakan sepeda motor saya. Dalam hal ini saya tidak bertanggung jawab, justru karena tidak menjadi penyebabnya. Kalau seorang bapak melakukan tin­dakan kriminal dan karena itu dihukum penjara seumur hidup, maka hanya dialah yang bertanggung jawab, bukan istri atau anak-anaknya (dengan pengandaian tentu bahwa ia memang bertindak sendirian). Adalah sama sekali tidak adil, bila istri dan anak-anak dipersalahkan atau didiskriminasi akibat kejahatan si bapak itu, justru karena bukan merekalah yang melakukan tindak kejahatan itu. Tetapi untuk ben­tanggung jawab, tidak cukuplah orang menjadi penyebab, perlu juga orang menjadi penyebab bebas. Kebebasan adalah syarat mutlak untuk tanggung jawab.

Memang benar, dalam masyarakat arkais dulu tanggung jawab sering disamakan dengan penyebab begitu saja. Suatu benda yang mengakibatkan malapetaka (atau hanya di­percayai mengakibatkan malapetaka), langsung dimusnah­kan. Rumah yang dipercayai mengakibatkan penyakit, mi­salnya, dibakar. Bukan karena alasan higiene, melainkan karena semacam “balas dendam”. Dan lebih banyak contoh lagi tentang binatang yang dianggap “bertanggung jawab” karena membunuh seseorang. Dalam masyarakat arkais acap kali terjadi bahwa binatang yang telah mengakibatkan ke­matian seseorang harus dibunuh sendiri. Pendapat ini masih berkumandang dalam Kitab Suci Perjanjian Lama di mana dikatakan bahwa sapi jantan yang telah mengakibatkan kematian seseorang harus dirajam sampai mati (Kitab Ke­Iuaran 21:28). Pandangan arkais seperti mi dilatarbelakangi pemikiran magis. Walaupun dalam masyarakat modern pula kadang-kadang masih ada sisa pemikiran magis ini (orang tidak lagi mau memakai mobil yang pernah mengakibatkan kematian seseorang, umpamanya), namun bagi kesadaran moral kita suatu penyebab harus bersifat bebas untuk dapat dianggap bertanggung jawab. Itu berarti bahwa hanya ma­nusia sebagai makhluk rasional bisa bertanggung jawab dan ia hanya bertanggung jawab sejauh ia bebas.

Tanggung jawab itu bisa langsung atau tidak langsung. Tanggung jawab bersifat langsung, bila si pelaku sendiri

bertanggung jawab atas perbuatannya. Biasanya akan ten­jadi demikian. Tapi kadang-kadang orang bertanggung ja­wab secara tidak langsung. Contohnya, kalau anjing saya merusakkan barang milik orang lain, bukanlah anjing yang bertanggung jawab (sebab seekor anjing bukan makhluk bebas), melainkan saya sebagai pemiliknya. Sekurang-­kurangnya bila kejadian itu berlangsung di tempat umum. Jadi, di sini saya bertanggung jawab secara tidak langsung, sebab saya harus mengawasi gerak-gerik anjing saya di tempat umum. Tapi kalau seandainya orang masuk ha­laman rumah saya tanpa izin – dengan maksud mencuri atau maksud apa pun juga – dan digigit oleh anjing saya, maka saya tidak bertanggung jawab, karena orang itu tidak berhak masuk halaman rumah tanpa seizin tuan rumah. Demikian halnya juga dengan anak kecil. BiIa anak kecil melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, orang tua­nya bertanggung jawab atas kejadian itu, karena anak itu sendiri belum bisa dianggap pelaku bebas. Secara tidak langsung orang tua atau pendamping lain bertanggung ja­wab, sebab mereka harus mengawasi anaknya.

Sejalan dengan perbedaan yang dikemukakan sebelum­nya dalam konteks hati nurani, di sini pun bisa dibedakan antara tanggung jawab retrospektif dan tanggung jawab prospektif. Tanggung jawah retrospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dan segala konsekuensinya. Bila seorang apoteker telah memberi obat yang salah karena kurang teliti membaca resep dokter, maka ía bertanggung jawab. Bila kemudian ketahuan, Ia harus memperbaiki perbuatannya itu dengan memberi obat yang betul. Dan seandainya kekeliruannya tennyata mem­punyai akibat negatif, seperti misalnya penyakit pasien ber­tambah parah, ía harus memberikan ganti rugi seperlunya. Contoh tentang tanggung jawab prospektif ialah bahwa pagi hari ketika membuka apoteknya si apoteker bertang­gung jawab atas semua obat yang akan dijual hari itu. Tanggung jawab prospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang akan datang. Dalam hidup sehari-hari kita lebih banyak mengalami tanggung jawab retrospektif, ka­rena biasanya tanggung jawab baru dirasakan betul-betul, bila kita berhadapan dengan konsekuensinya. Di sini pun kiasan “harus memberi jawaban” tampak dengan paling jelas. Sebelum perbuatan dilakukan, pelaku bersangkutan tentu sudah bertanggung jawab (dalam arti prospektif), tapi saat itu tanggung jawabnya masih terpendam dalam hati­nya dan belum berhadapan dengan orang lain. Baik untuk tanggung jawab retrospektif maupun untuk tanggung ja­wab prospektif berlaku bahwa tidak ada tanggung jawab, jika tidak ada kebebasan.

2.  Tingkat-tingkat Tanggung Jawab

Sudah kita lihat, kalau tidak ada kebebasan, tidak ada tanggung jawab juga. Tapi karena kebebasan bisa kurang atau lebih, demikian juga tanggung jawab ada tingkat-tingkatnya. Tentang perbuatan sejenis yang dilakukan oleh beberapa orang, bisa saja bahwa satu orang lebih bertanggung jawab daripada orang lain.

Mari kita memandang beberapa contoh di mana terlihat bahwa – tentang perbuatan yang kira-kira sama jenisnya – satu orang bertanggung jawab dan orang lain tidak ber­tanggung jawab, sedangkan orang lain lagi lebih atau ku­rang bertanggung jawab dibanding temannya. Semua contoh menyangkut kasus pencurian. Dengan “mencuri” kita mak­sudkan: mengambil barang milik onang lain tanpa izin. Yang terjadi dalam semua contoh ini adalah bahwa orang mengam­bil tas milik orang lain berisikan satu juta rupiah tanpa izin pemiliknya. Kita bisa membayangkan kasus-kasus berikut ini, lalu mempelajari derajat tanggung jawabnya.

(a)  Ali mencuri, tapi ia tidak tahu bahwa ía mencuri.

(b)  Budi mencuri, karena dia seorang kleptoman.

(c)  Cipluk mencuri, karena dalam hal ini ia sangka Ia boleh mencuri.

(d)  Darso mencuri, karena orang lain memaksa dia dengan mengancam nyawanya.

(e)  Eko mencuri, karena ía tidak bisa mengendalikan naf­sunya.

Tentang (a):

Ali mengambil tas milik orang lain berisikan uang satu juta rupiah, karena ia berpikir tas itu adalah tasnya sendiri. Maklumlah, warna dan bentuknya persis sama dengan tas yang menjadi miliknya. Ketika sampai di rumah dan mem­buka tasnya, barulah ia menyadari bahwa tas itu ternyata milik orang lain. Ia tidak bebas dan tidak bcrtanggung jawab dalarn rnelakukan perbuatan “pencurian” itu, karena ía tidak tahu bahwa ía mencuri (= bahwa tas itu milik orang lain). Dipandang dari luar, Ali rnemang mencuri (rnengambil milik orang lain tanpa izin), tapi ia tidak tahu bahwa ia “rnencuri’. Perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja. Karena itu perbuatannya sebaiknya tidak disebut “pencurian”. Rupanya definisi yang kita berikan tentang mencuri belum lengkap. Seharusnya ditambah: dengan se­ngaja mengambil barang milik orang lain tanpa izin. Na­mun demikian, perbuatan si Ali kemudian bisa menjadi pencurian juga, tergantung reaksinya setelah mengetahui kekeliruannya. Bila ía membuka tasnya dan berpikir dalam hati “inilah sungguh anugerah dari surga!” dan untuk se­terusnya ía menganggap uang itu sebagai  miliknya, maka ía bertindak dengan bebas dan karena itu ia bertanggung jawab. Bisa dicatat lagi, kebebasan di sini eukup hesar, karena ía inempunyai waktu seluas-luasnva untuk mempertimbangkan apa yang akan diperbuatnva. Supaya tidak bertanggung jawab, ia harus melakukan sesuatu untuk meinbetulkan kekeliruannva. Mestinva ía rnelapor ke polisi atau dengan eara lain mencari pemilik yang berhak. Kalau tidak, ia bertanggung jawab atas kenyataan bahwa per­buatannya menjadi pencurian.

Tentang (b):

Budi juga mengambil tas berisikan uang milik orang lain, tapi ia menderita kelainan jiwa yang disebut “kleptomani”, yaitu ía mengalami paksaan batin untuk mencuri. Di sini tidak ada kebebasan psikologis, seperti sudah kita lihat sebelumnya, dan akibatnya ia tidak bertanggung jawab. Tapi perlu ditekankan lagi: supaya Budi tidak bebas dan tidak bertanggung jawab, haruslah perbuatannya sungguh-sung­guh berasal dari kleptomani. Seandainya, seperti tidak jarang terjadi, perbuatan yang berkaitan dengan kelainannya selalu menyangkut barang jenis tertentu saja, pakaian misalnya, tidak mustahil bahwa dalam mencuri uang ini ía mengambil keputusan yang bebas atau untuk sebagian bebas. Kalau begitu, ía bertanggung jawab juga, biarpun barangkali bobot tanggung jawabnya kurang dibanding orang yang “normal”.

Tentang (c):

Cipluk juga mengambil uang milik orang lain. Ia mem­buatnya dengan bebas, tapi dalam arti tertentu ía membuat­nya terpaksa juga. Cipluk ini seorang janda yang mempu­nyai lima anak yang masih kecil. Mereka sudah beberapa hari tidak dapat makan, karena uangnya habis sama sekali. Ia sudah menempuh segala cara yang dapat dipikirkan untuk memperoleh makanan yang dibutuhkan. Mengemis pun ía coba. Tapi sampai sekarang ía gagal terus. Pada suatu ketika kebetulan ía mendapat kesempatan emas un­tuk mencuri tas berisikan uang. Kesempatan ini tidak disia-­siakan. Uang yang dicuri itu cukup untuk membeli makan­an selama beberapa bulan. Ibu Cipluk berpendapat bahwa dalam hal ini ía boleh mencuri. Ia menghadapi konflik kewajiban. Di satu pihak ía wajib menghormati milik orang lain dan karena itu ía tidak boleh mencuri. Di lain pihak sebagai seorang ibu ía wajib memperjuangkan keselamatan anaknya. Ibu Cipluk berpendapat bahwa kewajibañ kedua harus diberi prioritas dan akibatnya dalam kasus ini ía boleh mencuri. Perlu diperhatikan bahwa perbuatannya di­lakukan secara bebas dan karena itu ía bertanggung jawab penuh atas perbuatannya. Tapi dipandang dari sudut etika, dalam kasus ini ía tidak bersalah.

Tentang (d):

Karena perawakannya pendek, Darso dipaksa oleh maji­kannya untuk masuk kamar seseorang melalui lobang kisi­-kisi di atas pintu, guna mengambil tas berisikan uang yang terdapat di situ. Kalau ia menolak, ía akan disiksa dan barangkali malah dibunuh. Darso tidak melihat jalan lain daripada menuruti penintah majikannya. Ia membuatnya terpaksa, sebab sebenarnya ía tidak rnau. Namun ía juga tidak ingin tertimpa ancaman majikannya. Dalam kasus ini ternyata Darso tidak bebas (dalam arti kebebasan moral) dan karena itu ía juga tidak bertanggung jawab atas per­buatannya.

Tentang (e):

Eko juga mencuri uang satu juta rupiah yang oleh pe­miliknya disimpan dalam sebuah tas. Pada ketika dapat dipastikan tidak ada orang yang melihat, ía mengambil tas itu dan langsung kabur. Si Eko sudah lama mencita-citakan akan mempunyai pesawat televisi berwarna. Tapi sampai sekarang uangnya tidak cukup. Karena pemilik tas itu le­ngah sesaat, ía bisa mewujudkan cita-citanya. Mulai hari itu ía sekeluanga dapat menikmati siaran televisi berwarna. Jadi, Eko tidak mencuri untuk merugikan pemilik uang itu. Maksudnya tentu tidak mencelakakan orang itu. Ia malah tidak tahu bahwa orang itu pedagang kecil yang dalam tas membawa hampir seluruh modalnya yang baru saja diam­bil dari bank. Eko hanya didorong oleh nafsunya mau memiliki pesawat televisi berwarna, sebagaimana sudah lama dimiliki oleh tetangga dan kenalan lain. Dengan mencuri uang itu Eko bertindak bebas dan karena itu ía her­tanggung jawab.

Tetapi dalam kasus Eko ini bisa juga terjadi bahwa ke­bebasannya dikurangi dan karena itu tanggung jawabnya akan dikurangi pula. Misalnya, Eko berasal dari keluarga pencuri profesional. Ayahnya mencari nafkah dengan mencuri. Demikian juga kakak-kakaknya. Sedari kecil ía sudah diajak oleh saudaranya untuk ikut serta dalam kegiatan jahat mereka. Mencuri bagi dia menjadi hal yang serba biasa. Ia hampir tidak bisa membayangkan cara hidup yang lain. Kalau latar belakang keluarga dan pendidikan Eko memang demikian, maka kebebasannya akan berkurang juga. Atau kita memilih variasi lain. Andaikan saja Eko kecanduan narkotika. Ia seolah-olah tidak bisa hidup, kalau tidak mendapat suntikan heroin secara teratur. Tidak mungkin lagi ía melawan dorongan kecanduan itu. Ia akan menempuh jalan apa saja untuk mendapat uang, agar bisa memenuhi kebutuhannya. Kalau begitu, Eko juga kurang bebas kalau ía mencuri dan karena itu juga kurang ber­tanggung jawab.

Menentukan bertanggung jawab tidaknya seseorang ada­lah hal yang tidak mudah. Kita semua akan sepakat bahwa seorang anak kecil berumur tiga tahun belum bisa ber­tanggung jawab atas perbuatannya. Tapi pada umur berapa ía mencapai kematangan psikis yang cukup, sehingga bisa dianggap bertanggung jawab? Tentu saja, proses mencapai kematangan psikis akan benlangsung lama dan berangsur-­angsur. Mustahillah mengandaikan bahwa pada suatu hari ía memenuhi semua syarat psikologis yang mengizinkan dia dianggap bertanggung jawab, sedangkan hari sebelum­nya belum. Hukum akan menentukan umur tententu di mana seorang muda dianggap bertanggung jawab. Umur legal itu ditentukan supaya ada kepastian. Dalam keadaan normal akan terjadi bahwa dari sudut etis orang muda su­dah bertanggung jawab lebih awal, sebelum mencapai umur legal yang telah ditetapkan. Dan sebelum ía ber­tanggung jawab sepenuhnya dari sudut etis, bisa dian­daikan bahwa ada tahap-tahap di mana ía bertanggung jawab untuk sebagian. Tapi sulit sekali untuk memastikan tingkat-tingkat tanggung jawab itu.

Pada orang dewasa juga kadang-kadang agak sulit untuk menentukan ada tidaknya tanggung jawab, apalagi ting­katan-tingkatan tanggung jawab. Sebenarnya hanya orang bersangkutan sendiri dapat mengetahui bahwa dalam suatu kasus ía bertanggung jawab dan sejauh mana ía bertang­gung jawab, walaupun di sini juga ada orang yang lebih optimistis dan orang yang lebih pesimistis tentang dirinya sendiri. Namun demikian, kerap kali ada tidaknya tanggung jawab perlu dipastikan juga oleh orang lain, khususnya pengadilan. Bila seseorang melakukan perbuatan yang secara obyektif dinilai kriminal (mencuri rnisalnya), narnun ía melakukan hal itu karena suatu  dorongan batin  yang tidak bisa diatasi (kleptomani, misalnya),  sehingga ia tidak bebas, maka ía tidak bertanggung jawab juga dan tidak akan dihukum. K1eptomani  adalah kelain yang  harus diberi terapi (kalau bisa), bukan hukuman. Bisa terjadi juga bahwa tanggung jawab seorang penjahat dikurangi karena untuk sebagian ía tidak hebas. Kalau begitu, ía tetap akan dihukum, tapi hukumannya akan lebih ringan Untuk men­dapat kepastian tentang ada tidaknya tanggung jawab atau tingkatan tanggung jawab, instansi kehakiman akan meng­gunakan jasa psikiatri. Dengan demikian para psikiater mendapat tugas yang penting dan sangat berat. Yang pa­ling sulit untuk dipastikan ialah apakah seseorang pada kenyataannya tidak melawan dorongan batinnya atau tidak bisa melawan dorongan batinnya. Dengan kata lain, yang paling sulit untuk dipastikan ialah perbedaan antara “Budi pada kenyataannya tidak melawan dorongan batinnya” dan “Budi tidak bisa melawan dorongan batinnya”

3.  Masalah Tanggung Jawab Kolektif

Yang dibicarakan sampai sekarang adalah tanggung ja­wab pribadi atau perorangan, artinya, tanggung jawah sese­orang atas perbuatannya. Di samping itu dalam etika sering kali diajukan pertanyaan apakah ada juga tanggung jawab kolektif atau tanggung jawab kelompok.  Pertanyaan ini dijawab dengan cara berbeda-beda. Beberapa etikawan me­nenima kemungkinan tanggung jawab kolektif, tapi lebih banyak menolaknya. Kadang-kadang kita mendapat kesan bahwa memang ada tanggung jawab kolektif. Salah satu contoh berkaitan dengan peristiwa yang barangkali paling menyedihkan yang pernah terjadi dalam sejarah olah raga modern. Akhir bulan Mei 1985 di stadion Heysel, Brussel, Belgia, terjadi perkelahian massal antara para suporter Se­buah klub sepak bola Inggris dan sebuah klub Italia dalam rangka pertandingan Piala Champions. Tragedi ini menelan 39 korban jiwa – semuanya warga-negara ltalia – dan 450 korban luka-luka berat dan ringan. Pemerintah Inggris di London merasa dirinya bersalah dan menawarkan ganti rugi untuk para korban. Dalam rangka peristiwa tragis ini rupanya seluruh bangsa Inggnis menenima tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh beberapa warganya.

Kasus yang sudah menjadi klasik dalam diskusi tentang tanggung jawab kolektif menyangkut peranan bangsa Jer­man – dan hal yang sama sebenarnya berlaku juga untuk bangsa Jepang – dalam Perang Duaia II (1940—1945). Sesu­dah perang selesai, mereka yang dianggap penjahat perang di Jerman diadili oleh pengadilan Nuremberg yang dise­lenggarakan oleh para sekutu. Tapi cepat sekali timbul pertanyaan apakah bangsa Jerman sebagai keseluruhan ti­dak harus dianggap bersalah atas kejadian-kejadian yang telah berlangsung waktu itu. Antara lain filsuf besar ber­kebangsaan Jerman yang tanpa ragu-ragu boleh dianggap bersih dari pencemaran nasional-sosialistis, Karl Jaspers (1883—1969), menulis buku tentang hal itu: Masalah keber­salahan. Sumbangan Pikiran tentang Masalah Jerman (1946).

Masalah ml memang kompleks sekali. Bangsa Jerman me­milih Hitler sebagai pemimpinnya melalui jalan demokratis. Dan ketika semakin kentara ia menempuh jalan pemerin­tahan yang memperkosa hak-hak asasi manusia dan meng­antar negaranya ke avontur peperangan kegila-gilaan, Jer­man sebagai bangsa tetap mengikuti dia. Tidak mengheran­kan bahwa seusai Perang Dunia II banyak orang berpen­dapat bahwa bangsa Jerman seluruhnya bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa dramatis yang telah terjadi.

Supaya diskusi tentang tanggung jawab kolektif ini dapat dijalankan dengan baik, perlu lebih dulu kita bertanya apa persisnya dimaksudkan dengan tanggung jawab kolektif. Dengan tanggung jawab kolektif tidak dimaksudkan pen­jumlahan tanggung jawab beberapa individu. Bukan mak­sudnya bahwa orang A bertanggung jawab di samping orang B, C, dan D. Sebab, tanggung jawab seperti itu hanya merupakan struktur lehih kompleks dari tanggung jawab pribadi dan tidak rnenimbulkan kesulitan khusus. Juga ti­dak dimaksudkan bahwa dalam suatu kelompok beberapa orang bertanggung jawab untuk sebagian, seperti misalnya dalam sebuah gang penjahat ada yang merencanakan, ada yang membantu dan ada yang melaksanakan tindak ke­jahatan. Juga tidak dimaksudkan bahwa banyak tindakan pribadi kita meinpunyai dampak sosial. Hal itu tidak mengherankan, sebab – akibat kodrat sosial manusia – per­buatan-perbuatan pribadi kita dengan banyak cara terjalin dengan kepentingan orang lain, bahkan dengan masyarakat sebagai keseluruhan. Yang dimaksudkan dengan tanggung jawab kolektif ialah bahwa orang A, B, C, D, dan seterus­nya, secara pribadi tidak bertanggung jawab, sedangkan mereka semua bertanggung jawab sebagai kelompok atau keseluruhan.

Kalau paham tanggung jawab kolektif harus dimengerti dengan demikian, maka sulit untuk menerima tanggung jawab moral yang kolektif. Mengapa? Karena sulit untuk diakui bahwa seseorang bisa bertanggung jawab atas per­buatan yang tidak dilakukannya. Di sini tetap berlaku dua syarat yang disebut dalam analisis awal tentang pengertian “tanggung jawab’: kecuali kasus tanggung jawab tidak lang­sung, saya hanya bertanggung jawab atas apa yang dise­babkan oleh saya dan dalam hal itu haruslah saya ber­tindak sebagai penyebab bebas. Terhadap apa yang tidak saya lakukan secara bebas, apalagi terhadap apa yang sama sekali tidak saya lakukan, saya tidak bertanggung jawab.

Sesudah penelitian mendalam, Karl Jaspers dalam bukunya yang sudah disebut menolak adanya tanggung jawab kolek­tif bagi seluruh bangsa Jerman. Pandangannya bisa di­setujui. Di sini pun harus ditandaskan bahwa tanggung jawab selalu dikaitkan dengan pelaku individual yang be­bas. Bisa saja bahwa jauh lebih banyak orang Jerman ber­tanggung jawab daripada mereka yang dihukum secara resmi di pengadilan Nuremberg atau dengan cara lain. Bisa juga bahwa banyak orang Jerman bertanggung jawab ka­rena pada saat kritis mereka menjadi pengecut dan memilih berdiam diri. Memang benar, orang dapat bertanggung ja­wab juga karena tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Dengan kata lain, orang dapat bertanggung ja­wab karena kelalaian, walaupun perlu diakui bahwa selalu lebih mudah post factum menuduh orang tentangkelalaian daripada ketika situasi historis yang kompleks sedang ber­langsung. Bagaimanapun juga, tidak masuk akal bahwa suatu bangsa bertanggung jawab sebagai bangsa. Suka ti­dak suka, tanggung jawab selalu berkaitan dengan kebebas­an pribadi.

Tapi rupanya dengan itu diskusi tentang tanggung jawab kolektif belum selesai. Mengapa? Sering terlihat tanda-tanda tentang adanya tanggung jawab sernacam itu, antara lain dalam contoh-contoh yang disebut di atas. Tanda-tanda semacam itu tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Kami berpendapat bahwa di sini perlu dibedakan dua hal. Di satu pihak tanggung jawab kolektif dalam arti yang se­benarnya. Tanggung jawab seperti itu tidak ada karena alasan-alasan yang sudah disebut. Bahkan ada etikawan yang berpendapat bahwa tanggung jawab kolektif merupa­kan paham yang berbahaya, karena bisa menyempatkan para penanggung jawab yang sesungguhnya untuk main tedeng aling-aling. Kami sendiri tidak mau terlalu mene­kankan aspek terakhir mi. Tapi di lain pihak harus dibeda­kan suatu rasa tanggung jawab kolektif. Rasa tanggung jawab seperti itu memang ada, bukan karena alasan-alasan etis melainkan karena alasan-alasan psikologis. Suatu ke­lompok terikat karena faktor-faktor afektif (famli atau bangsa yang sama), karena solidaritas (mempunyai tujuan yang sama) dan karena faktor-faktor sejarah serta tradisi. Karena itu suatu kelompok bisa merasa bertanggung jawah atas perbuatan beberapa anggotanya, biarpun mereka se­bagai kelompok tidak terlibat. Di sini bisa ditanyakan lagi apakah rasa tanggung jawab ini harus dinilai positif atau lebih baik dianggap saja netral dari sudut moral? Tanpa ragu-ragu bisa dijawab bahwa rasa tanggung jawab kolektif itu merupakan sesuatu yang baik dan terpuji. Sangatlah bagus, jika pemerintah Inggris memberi ganti rugi kepada korban drama Heysel di Brussel. Sebab, tidak bisa diharap­kan ganti rugi dari pelakunya, karena dalam situasi kacau balau begini tidak dapat dipastikan siapa yang berbuat apa. Hanya diketahui dengan pasti bahwa pelakunva adalah suporter Inggris. Dengan memberi ganti rugi pemerintah Inggris ingin menjaga nama baik bangsanya. Bila kesebelas­an mereka menjadi juara, tentu seluruh bangsa lnggris akan turut bergembira dan merasa bangga, hiarpun hanya bebherapa orang saja bersusah payah meraih kemenangan. Ke­gembiraan nasional seperti itu didasarkan atas solidaritas bangsa. Karena alasan solidaritas yang sama sangatlah ter­puji jika lnggris di sini menyatakan rasa tanggung jawab­nya pula, walaupun tanggung jawab moral dalam arti yang sebenarnya tidak ada.

Perubahan Budaya

10 Februari 2010 4 komentar

Peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan oleh Munandar (1987) dibagi atas: cultural lag, cultural survival, cultural conflict dan cultural shock. Keempat jenis perubahan peristiwa-peristiwa kebudayaan tersebut diuraikan secara singkat sebagi berikut di bawah ini.

CULTURAL LAG

Cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Artinya ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat dapat menyesuaikan diri terhadap benda itu.

Juga suatu lag terjadi apabila irama perubahan dari dua unsur perubahan (mungkin lebih) memiliki korelasi yang tak sebanding sehingga unsur yang satu tertinggal oleh yang lainnya.

CULTURAL SURVIVAL

Istilah ini ada sangkut pautnya dengan cultural lag karena mengandung pengertian adanya suatu cara tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu sampai sekarang. Cultural survival adalah suatu konsep yang lain, dalam arti bahwa konsep ini dipakai untuk menggambarkan suatu praktek yang telah kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup dan berlaku semata-mata hanya di atas landasan adat-istiadat semata-mata. Jadi, pengertian lag dapat diperguanakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu:

  1. Suatu jangka waktu antara terjadinya penemuan baru dan diterimannya penemuan tersebut.
  2. adanya perubahan dalam pikiran manusia dari alam pikiran tradisional ke alam pikiran modern.

Terjadinya cultural lag ialah karena adanya hasil ciptaan baru yang membutuhkan aturan-aturan serta pengertian yang baru yang berlawanan dengan hukum-hukum serta cara-cara bertindak yang lama, tetapi ada pula kelompok yang memiliki sifat keterbukaan, malahan mengharapkan timbulnya perubahan dan menerimanya dengan mudah tanpa mengalami cultural lag.

CULTURAL CONFLICT (pertentangan kebudayaan)

Pertentangan kebudayaan ini muncul sebagai akibat relatifnya kebudayaan. Hal ini terjadi akibat konflik langsung antar kebudayaan. Faktor-faktor yang menimbulkan konflik adalah keyakinan-keyakinan yang berbeda sehubungan dengan berbagai masalah aktivitas berbudaya. Konflik ini dapat terjadi di antara anggota-anggota kebudayaan yang satu dengan anggota-anggota kebudayaan yang lain.

CULTURE SHOCK (guncangan kebudayaan)

Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Kalervo Oberg (1958) untuk menyatakan apa yang disebutnya sebagai suatu penyakit jabatan dari orang-orang yang tiba-tiba dipindahkan ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaannya sendiri, semacam penyakit mental yang tak disadari oleh korbannya. Hal ini akibat kecemasan karena orang itu kehilangan atau tak melihat lagi semua tanda dan lambang pergaulan sosial yang sudah dikenalnya dengan baik.

Ada empat tahap yang membentuk siklus culture shock:

  1. tahap inkubasi; kadang-kadang disebut tahap bulan madu, sebagai suatu pengalaman baru yang menarik.
  2. tahap kritis; ditandai dengan suatu perasaan dendam, pada saat inilah terjadi korban culture shock.
  3. tahap kesembuhan; korban mampu melampaui tahap kedua, hidup dengan damai.
  4. tahap penyesuaian diri; sekarang orang tersebut sudah membanggakan sesuatu yang dilihatnya dan dirasakannya dalam kondisi yang baru itu; rasa cemas dalam dirinya sudah berlalu.

Penyesuaian diri antar budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern menurut Brislin, ialah faktor watak (traits) dan kecakapan (skill). Watak adalah segala tabiat yang membentuk keseluruhan kepribadian seseorang, yang dalam bahasa sehari-hari biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan, “orang macam apa dia?” jawabannya: emosional, pemberani, bertanggungjawab, senang bergaul dll. Orang senang bergaul biasanya lebih mudah menyesuaikan diri.

Kecakapan atau skill menyangkut segala sesuatu yang dapat dipelajari mengenai lingkungan budaya yang akan dimasuki, seperti bahasa, adat-istiadat, tata krama, keadaan geografi, keadaan ekonomi, situasi politik dan sebagainya.

Selain kedua faktor itu, juga sikap (attitude) seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya. Menurut Allport, yang dimaksud dengan sikap disini adalah kesiagaan mental atau saraf yang terbina melalui pengalaman yang memberikan pengarahan atau pengaruh terhadap bagaimana seseorang menanggapi segala macam obyek atau situasi yang dihadapinya. Contoh, sikap terusterang, berprasangka baik atau buruk, curiga, optimis, pesimis, skeptis, ekstrim, moderat, toleran, tepasliro dan sebagainya. Orang yang bersikap terus terang dan terbuka atau berprasangka baik akan lebih berhasil dalam menyesuaikan diri.

Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antar budaya adalah:

  1. besar-kecilnya perbedaan antara kebudayaan tempat asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang dimasukinya.
  2. pekerjaan yang dilakukannya, yaitu apakah pekerjaan yang dilakukannya itu dapat ditolerir dengan latar belakang pendidikannya atau pekerjaan sebelumnya.
  3. suasana lingkungan tempat ia bekerja. Suasana lingkungan yang terbuka akan mempermudah seseorang untuk menyesuaikan diri bila dibandingkan dengan suasana lingkungan yang tertutup.

Peranan Etika dalam Dunia Modern

10 Februari 2010 3 komentar

K. Bertens ETIKA, Jakarta 2001 PT Gramedia

Setiap masyarakat mengenal nilai-nilai dan norma-norma etis. Dalam masyarakat yang homogen dan agak tertutup – masyarakat tradisional, katakanlah – nilai-nilai dan norma-­norma itu praktis tidak pernah dipersoalkan. Dalam ke­adaan seperti itu secara otomatis orang menerima nilai dan norma yang berlaku. Individu -individu dalam masyarakat itu tidak berpikir lebih jauh. Tapi nilai-nilai dan norma-norma etis yang dalam masyarakat tradisional umumnya tinggal implisit saja, setiap saat bisa menjadi eksplisit. Terutama bila nilai-nilai itu ditantang atau norma-norma itu dilanggar karena perkembangan baru, kita melihat bahwa nilai atau norma yang tadinya terpendam dalam hidup rutin, dengan agak mendadak tampil ke permukaan. Ba­nyak nilai dan norma etis berasal dari agama. Tidak bisa diragukan, agama merupakan salah satu sumber nilai dan norma yang paling penting. Kebudayaan merupakan suatu sumber yang lain, walaupun perlu dicatat bahwa dalam hal ini kebudayaan sering kali tidak bisa dilepaskan dari aga­ma. Juga nasionalisme atau kerangka hidup bersama dalam satu negara mudah menjadi sumber nilai serta norma. BiIa negara dalam bahaya atau merasa dihina oleh negara lain, nilai-nilai itu bisa sampai bergejolak. Demikian halnya, ka­lau dilihat dalam konteks sosial. Kalau kita melihat hal yang sama dari segi individual, bisa saja terjadi bahwa nilai-nilai dan norma-norma itu disadari oleh seorang ter­tentu, karena Ia pindah ke daerah lain. Di Indonesia pun sudah sejak dulu terdapat variasi kecil-kecilan di pelbagai daerah, sejauh menyangkut nilai dan norma. Misalnya, da­lam bidang pergaulan antara muda-mudi dan hubungan antara anak dan orang tua. Bila seorang muda menjadi mahasiswa dan karena itu untuk pentama kali dalam hi­dupnya keluar dari naungan keluarga serta ketertutupan daerahnya, Ia dapat merasakan perbedaan itu. Perbedaan bisa dirasakan lebih tajam lagi, bila perpindahan itu bukan saja dari satu daerah ke daerah lain tapi sekaligus juga dan daerah pedesaan ke kota besar. Apalagi, bila seorang muda disekolahkan ke luar negeri. Bisa sampai terkena cultural shock.

Pengalaman-pengalaman serupa itu selalu sudah terjadi dan tidak merupakan sesuatu yang baru. Dalam masya­rakat tradisional pun berlangsung hal-hal sedemikian. Tapi sekarang ini keadaan masyarakat tradisional itu hampir tidak ada lagi. Praktis tidak terdapat lagi masyarakat yang homogen dan tertutup. Suatu contoh bagus tentang perubahan seperti ini adalah kebiasaan di banyak masyarakat tradisional bahwa orang Tua memilih jodoh bagi anaknya. Di Indonesia pun kebiasaan ini pernah tersebar luas. Dalam sastra Indonesia gejala itu tampak dengan jelas. Antara tahun 1920 dan 1940 banyak novel bertemakan kawin paksa dan campur tangan orang Tua dalam pernikahan anaknya? Sekarang diakui secara umum hak seorang muda untuk memilih teman hidupnya sendiri. Perjuangan hak yang ter­cermin dalam sastra Indonesia ini menandai peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.

Jika kita memandang situasi etis dalam dunia modern terutama tiga ciri yang menonjol. Pertama, kita menyak­sikan adanya pluralisme moral. Dalam masyanakat-masya­rakat yang berbeda sering terlihat nilai dan norma yang berbeda pula. Bahkan masyarakat yang sama bisa ditandai oleh pluralisme moral. Kedua, sekarang timbul banyak ma­salah etis baru yang dulu tidak terduga. Ketiga, dalam dunia modern tampak semakin jelas juga suatu kepedulian etis yang universal. Mari kita memandang tiga ciri ini secara lebih rinci.

Pluralisme moral terutama dirasakan karena sekarang kita hidup dalam era komunikasi. Konon, ketika Chris­topher Columbus menemukan benua Amerika (1492), bos­nya di Eropa – raja Spanyol – baru mendengar tentang ke­jadian itu sesudah 5 bulan. Ketika Presiden Amerika Se­rikat, Abraham Lincoln, dibunuh (1865), kabar itu baru sampai di Eropa sesudah 12 hari. Kini melalui media ko­munikasi modern informasi dan seluruh dunia langsung memasuki rumah-rumah kita, sebagaimana juga kejadian­-kejadian di dalam masyarakat kita segera tersiar ke segala pelosok dunia. Dalam hal ini perkembangan mutakhir adalah Internet. Suka tidak suka, bersama dengan menerima informasi sebanyak itu kita berkenalan pula dengan norma dan nilai dari masyarakat lain, yang tidak selalu sejalan dengan norma dan nilai yang dianut dalam masyarakat kita sendiri. Seperti diketahui, beberapa negara komunis yang sejak Perang Dunia II telah berusaha menutup diri terhadap segala pengaruh dan luar, dalam hal ini hanya sebagian berhasil. Lagi pula, sarana pengangkutan modern seperti pesawat terbang, kereta api dan kendaraan bermotor telah mengakibatkan suatu mobilitas yang belum pernah disaksi­kan sepanjang sejarah umat manusia. Ratusan juta manusia setiap tahun melewati perbatasan negara mereka. Dan kita lihat, mereka pergi semakin jauh, karena sarana pengang­kutan semakin cepat dan pelayanan kewisataan semakin ditingkatkan. Pariwisata sudah menjadi sebuah industri yang dengan sengaja digalakkan untuk menarik sebanyak mungkin devisa. Dunia usaha juga sudah hampir tidak mengenal perbatasan negara, sehingga banyak sekali rnana­jer, konsultan dan teknisi berkeliling dari satu negara ke negara lain, sebagai karyawan salah satu multinational cor­poration. Atau kita lihat saja betapa banyak orang Indonesia pernah menuntut ilmu di luar negeri atau sekarang sedang rnenjalani studi di luar negeri. Tidak dapat disangkal, ma­syarakat kita yang sudah sejak dulu diwarnai “kebhineka­an” sekarang berjumpa dengan kemajemukan norma dan nilai seperti hampir semua masyarakat di dunia. Kema­jemukan itu menyangkut nilai dan norma dalam praktek­-praktek bisnis, umpamanya, tapi juga dalam bidang yang sama sekali lain seperti seksualitas serta perkawinan. Kita lihat, ada beberapa masyarakat yang lebih liberal dan per­misif daripada masyarakat lain tentang hubungan seksual sebelum perkawinan, hubungan homoseksual, pornognafi, dan sebagainya.

Ciri lain yang menandai situasi etis di zaman kita adalah timbulnya masalah-masalah etis baru, yang terutama di­sebabkan perkembangan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya ilmu-ilmu biomedis. Di antara masalah-masalah paling berat dapat disebut: apa yang ha­rus kita pikirkan tentang manipulasi genetis, khususnya manipulasi dengan gen-gen manusia; apa yang bisa dikata­kan tentang reproduksi artifisial seperti fertilisasi in vitro, entah dengan donor atau tanpa donor, entah dengan ibu yang “menyewakan” rahimnya atau tidak; apakah kita bisa menenima eksperirnen dengan jaringan embrio untuk me­nyembuhkan penyakit Alzheimer-umpamanya, entah ja­ringan itu diperoleh melalui abortus yang disengaja atau abortus spontan? Masalah-masalah etis yang timbul ber­hubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, akan dibicarakan lagi secara khusus dalam Bab yang lain.

Ciri ketiga adalah suatu kepedulian etis yang tampak di seluruh dunia dengan melewati perbatasan negara. Globa­lisasi tidak saja merupakan gejala di bidang ekonomi, tapi juga di bidang moral. Kita menyaksikan adanya gerakan-­gerakan perjuangan moral yang aktif pada taraf internasio­nal. Bisa dalam bentuk kerja sama antara Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, bisa juga dalam bentuk kerja sama antara DPR dari beberapa negara atau serikat-serikat buruh, dan sebagainya. Lebih penting lagi adalah suatu kesadaran moral universal yang tidak terorganisir tapi tampak di mana-mana. Ungkapan-ungkapan kepedulian etis yang terorganisir malah tidak mungkin tanpa dilatarbelakangi oleh kesadaran moral yang universal itu. Gejala paling mencolok tentang kepedulian etis adalah Deklarasi Universal tentanig Hak-hak Asasi Manusia yang diproklamasikan oleh Perseri­katan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948. Proklamasi ini pernah disebut kejadian etis yang paling penting dalam abad ke-20. Deklarasi tersebut tidak merupakan pernyataan hak-hak yang pertama dalam sejarah, tapi merupakan per­nyataan pertama yang diterima secara global karena diakui oleh semua anggota PBB. Dan tanpa memandang isinya, hal ini sudah merupakan suatu fenomena yang luar biasa. Kepedulian etis yang sama tampak juga dalam bentuk uni­versal, karena banyak masalah etis yang baru ditandai uni­versalitas juga, artinya, berlaku untuk seluruh dunia. Di sini dimaksudkan terutama masalah-masalah etis yang ber­kaitan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, masalah seperti lingkungan hidup dan sebagainya.

Gejala kepedulian etis yang universal itu sepintas laIu rupanya agak bertentangan dengan pluralisme moral tadi. Untuk sebagian pertentangan itu memang ada dan menjadi semacam kontradiksi implisit yang sering ditemukan pada taraf sosial. Tapi untuk sebagian lain pluralisme moral dan kepedulian etis itu tidak bertentangan karena menyangkut dua lingkup yang berbeda. Pluralisme moral itu terutama menyangkut lingkup pribadi. Bagaimana dua orang yang menyetujui, mau menghayati homoseksualitas mereka bisa diserahkan kepada keputusan pribadi orang-orang itu sendiri karena tidak mengganggu kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan. Di sini tidak dilanggar hak orang lain. Tapi kepedulian etis yang universal terutama menyangkut ling­kup umum, artinya, hal-hal yang tidak bisa diserahkan kepada keputusan pribadi. Misalnya, penyiksaan terdakwa yang diduga terlibat dalam tindakan kriminal tidak pernah bisa diterima sebagai metode interogasi polisi, karena menyangkut lingkup moral umum yang tidak bisa diserahkan kepada selera pribadi polisi. Di sini selalu ada korban yang dilanggar haknya.

Situasi moral dalam dunia modern itu mengajak kita untuk mendalami studi etika. Rupanya studi etika itu me­nupakan salah satu cara yang memberi prospek untuk men­gatasi kesulitan moral yang kita hadapi sekarang. Sudah pernah diketengahkan bahwa alasan-alasan yang kita punya untuk mendalami studi etika sangat mirip dengan situasi di Yunani kuno sekitar pertengahan abad ke-5 s.M..8 Waktu itu kesadaran etis di sana mengalami krisis besar. Pola-pola moral yang tradisional tidak lagi memiliki dasar untuk berpijak, akibat banyak.nya perubahan sosial dan religius. Para Sofis tidak berhasil memberikan jawaban tepat untuk mengatasi krisis itu, tapi sebaliknya meruncingkan keadaan dengan subyektivisme dan relativisme mereka. Adalah So­krates dan Plato yang menunjukkan jalan keluar dan kemelut moral itu. Mereka tetap berpegang pada norma-norma yang berlaku dalam polis (kota negara) yang tradisional di Yunani. Yang baru adalah bahwa mereka mengusahakan suatu pendasaran rasional bagi norma-norma itu. Untuk pertama kali dalam sejarah, mereka mempergunakan rasio untuk meletakkan fundamen bagi norma-norma etis dan dengan demikian mereka memulai etika filosofis. Bagi kita pun tidak ada jalan lain daripada rasio untuk memecahkan masalah­-masalah moral yang kita hadapi sekarang ini. Menempuh cara hidup yang etis berarti mempertanggungjawabkan peri­laku kita berdasarkan alasan-alasan, artinya, berdasarkan rasio. Melalui jalan rasional perlu kita bersama-sama – mungkin sesudah diskusi panjang lebar – mencari kesepakat­an di bidang moral. Salah satu usaha ke arah itu adalah etika terapan yang sekarang dijalankan dalam kalangan luas dan akan dibicarakan Iagi secara khusus dalam Bab yang lain.

7 Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra indonesia, Bandung, Penerbit Binatjipta, 1969, hlm. 25 – 28.

­8A. Wyilemari, “De grondslag van de moraal’, Tijdschrzft voor Filosofie 28 (1966), hlm. 626. Tentang peranan kelompok Sofis dalam krisis moral di Yunani kuno dan reaksi Sokrates serta Plato dapat dibaca: Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, Kanisius, 1992.

Hubungan Etika Dengan Ilmu

10 Februari 2010 1 komentar

(Daldjoeni dalam Jujun, 1987 hal. 233 ~ 236)

Tulisan ini menyajikan hubungan antar etika dan ilmu, dimana etika lengket dengan ilmu. Sesungguhnya bebas nilai atau tidaknya ilmu merupakan masalah rumit, yang tak mungkin dijawab dengan sekedar ya atau tidak. Mereka yang berpaham ilmu itu bebas nilai menggunakan pertimbangan yang didasarkan atas nilai diri yang diwakili oleh ilmu bersangkutan.

Bebas disitu berarti tak terikat secara mutlak. Padahal bebas dapat mengandung dua jenis makna. Pertama, kemungkinan untuk memilih; keduanya, kemampuan atau hak untuk menentukan subyeknya sendiri. Disitu harus ada penentuan dari dalam bukan dari luar.

Dengan penggulatan masalah di atas akhirnya dapat disimpulkan bahwa dua paham yang berbeda itu tak perlu dilihat sebagai suatu pertentangan. Baca selengkapnya…